Keesokan
harinya, Pak Purnomo memulai pembuatan batako. Terbuat dari tanah liat yang
dicampur air, menggunakan alat pencetak berbentuk persegi, dikeringkan di bawah
terik matahari, lalu dibakar dengan api membara. Dan hari-hari selanjutnya,
rumah impian segera menjadi nyata. Pedesaan yang sepi akan menambah bangunan
lagi.
-Semua
berawal dari “Hai!”-
Teman,
sahabat, atau kawan semua ditakdirkan untuk mengiringi kisah kita. Sambutlah
dia, katakan “Hai” niscaya dia akan melihatmu.
Angin-angin
berhembus nakal, berlari-lari layaknya anak kecil, bermain dengan guyuran hujan
menghancurkan kebun jagung. Kabsya mengintip dari jendela rumah, disibak
sedikit gorden bermotif burung merak itu supaya jelas pandangannya. Seperti
alam mengamuk kesakitan, satu per satu batang jangung patah dan jatuh layaknya
domino. “Petir,” kilat petir mendahului bunyi, maka Kabsya menutup telinganya. Tiada
teriakan karena Ibunya selalu mengingatkan bahwa setelah cahaya ada bunyi.
“To..tok..tok,
ada orang ?” Kakek tua paruh baya bersama cucu kecilnya mengetuk pintu. Kabsya tidak
membuka pintunya, dia mencoba mengingat siapa orang itu, “mungkin teman Bapak
atau teman Ibu ? kok seperti Kakek,” lalu turunlah dia
dari bangku kayu ruang tamu, membuka pintu hanya selebar tubuhnya.
“Hai !” panggil
Kabsya pada cucu kakek tua itu. Lambaian tangannya seakan mengajak berteduh di
dalam.
“Hai !” cucu
kakek itu membalas sapaan Kabsya. Senyum simpul membekas diwajahnya, lesung di
kedua pipinya membentuk raut harmonis. Kabsya terus memandangi mereka, sampai
keduanya menembus hujan tipis. Lalu anak laki-laki, cucu kakek itu melambaikan
tangannya sebelum langkah mereka jauh meninggalkan rumah Kabsya.
Inilah kali
pertamanya bertemu anak kecil sebaya, biasanya kalau tidak lebih tua ya lebih
muda, kakek-kakek, ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan bayi yang belum bisa bicara.
Dia terus memikirkan anak laki-laki itu “Andai aku memiliki teman, pasti aku
bisa bermain masak-masakan bersama, menangkap kupu-kupu, hmmmm,” lamunannya
pecah seiring nada-nada hujan mulai melirih, Ibunya pulang tergopoh-gopoh dari
kerja menggiling tembakau.
“Ibu..Ibu….”
“Ada apa, Sya? Ibu
habis kehujanan, beres-beres dulu ya, ceritanya nanti saja,”
“Baik, Bu.”
Malam sudah
menjemput lelap. Selimut mulai menutupi leher, kedinginan mencapai derajad
dinginnya, namun, Ibu belum datang menghampiri Kabsya di kamarnya. Mungkin
kecapekan dihari pertama kerja. “Ibu berjanji akan mendengarkanku, tetapi
mengapa tidak ada? Apa ibu sudah tidur ? Apa Ibu bosan mendengar ceritaku ? Apa
Ibu lelah membacakan dongeng pengantar tidur ?,” semua pertanyaan pasti ada
jawabnya, lain dengan anak ini dia tertidur pulas sebelum semua pertanyaan
terjawab. Sang Ibu merasa bersalah melalaikan janjinya, diciumlah kening Kabsya
“Maafkan, Ibu terlambat mendegarkan ceritamu, lupa mengantar tidurmu dengan
dongeng.
“Ibu…” Kabsya
terbangun ketika pintu kamarnya tertutup. Menyadari Ibunya telah pergi, dia
pasrah atas segala pertanyaan tak terjawab itu. Kantukpun segera merangkulnya.
***
Hari-hari lalu
berlalu, anak-anak disekitarku tumbuh dengan senyumnya. Namun tidak denganku. Aku
Ekagga Dhani. Kakek memanggilku Agga. Kelahiranku bagaikan mimpi buruk bagi
kedua orang tuaku, Papa entah pergi kemana, bahkan Mama terus merantau tanpa
pulang lagi setelah ulang tahun pertamaku. Hiruk pikuk keramaian kota mentransfer
sinyal buruk bagiku, terdiam dalam kesepian ini. Seharusnya aku larut dalam
gemerlap lampu alun-alun kota, seharusnya aku menari bersama tema-teman sebaya.
Seharusnya aku keluar rumah dan menyingkap lenganku, seharusnya, dan hanya
angan-angan.
Jiwa ini
tergugu, kesepian bergayut sepanjang hari. Secerca kebahagiaan terpancar dari
seorang kakek tua, kakekku sendiri. Dalam usianya yang renta, aku menangis. Dialah
penyihir abadiku, merubah kesedihan jadi kebahagiaan. Kakek. Meski itulah sumur
kebahagiaan, aku tidak bisa menuntut lebih darinya, menuntut penghapusan sepi
ini. Kakek harus bekerja.
Suatu ketika
kuberanikan diri mengakhiri sepi yang merong-rong hati. Kakek mengajakku ke
sebuah tempat, bukan kota. Jauh dari keramaian kota yang semu. Alam. Kutengok
pohon-pohon rimbun sepanjang jalan dari kaca mobil berdebu. Samar-samar, tapi
terlihat indah.
Indahnya
alam ini, mengapa aku tidak berlari ke sini saja
“Agga suka? “
“Suka, Kek.
Kita mau kemana?”
“Ke tempat
kakek bekerja, di dekat rumah adik kakek.”
“Aku sudah
tidak sabar melihatnya, bermain di sana dan mencari teman baru.”
Kakek hanya
tersenyum, seperti tawanan penjara yang baru bebas dari jeruji besi. Ya, aku.
Ekagga dalam sepi. Hidupku terlalu sepi untuk berteman. Hidupku terlalu sepi
untuk tertawa, selalu ditinggal tak berkawan. Rumah besar tak berarti apa-apa
jika tidak pernah menjadi tempat kembali Papa, tidak pernah menyimpan kerinduan
Mama, dan selalu ditinggal Kakek. Terkadang aku berlari dari sudut ke sudut mencari
teman, ada teman. Semut, laba-laba, marmut pembelian kakek, hanya itu. Semua
tidak bisa bicara, bahasa mereka berbeda dan aku tak mengerti. Bukankah aku
manusia, seharusnya temanku juga manusia.
Bila kumampu
menahan kantuk sampai jam 7 malam, Kakek akan meluang waktu membaca dongeng
untukku. Dongeng pangeran bertemu putri kerajaan, dongeng kesatria pedang
platina, dongeng-dongeng indah berakhir indah. Hanya itu bahagiaku. Tidak semua
hari berakhir dongeng, aku terhanyut sepi dan terlelap sebelum Kakek pulang.
“Sampai… Kita
sudah sampai.” Mobilnya berhenti seketika, aku tercengag tersihir aliran angin.
Desa. Semua berjarak, rumah berjarak rumah.
Pemukiman
belum padat
“Agga, Kakek parkir
di sini. Rumah itu rumah saudara kita. Adik kakek. Kamu mau ikut ke kebun
cengkih atau bermain di sini.”
Daripada
aku sendiri lagi disini, lebih baik aku ikut saja
“Ikut, Kek.”
“Ayo !.”
tangannya menggapai tangan mungilku, indah bahagia. Seriang burung-burung
terbang di lautan biru tak berair. Aku bahagia.
Alam,
alam yang indah
Kakek bekerja
mengawasi buruh-buruh pemetik cengkih. Katanya, kebun ini adalah warisan
mendiang buyutku. Buruh-buruh itu berwajah pribumi, berbeda dengan aku dan
kakek. Mataku terlalu kecil, orang-orang berkata “Matanya sipit,” lainnya
“Kulitnya seperti susu,” “Hidungnya tidak pesek,” bisik-bisik itu tak pernah
kupahami sepenuhnya, aku tak mengerti dan tak ingin mengerti. Toh, aku sama
dengan Kakek.
Dedaunan
berjatuhan, seperti hujan. Aku menari bersama debu.
Sepi
menjaulah, hempaslah angin, alam temaniku.
Pemetik cengkih
itu menghampiriku, perasaanku tak menentu. Apa dia berniat jahat, dia penculik
putri-putri raja, atua…. Semua buyar
“Adik, namanya
siapa?” senyumnya ramah menyapaku.
“Ekagga Dhani,
pangil saja Agga.”
“Agga mau
roti,” disodorkan sepotong roti rasa coklat ke hadapanku, terpaksalah berlutut
supaya matanya mampu melihat mataku. Dan aku hanya mengangguk.
Baik
nian orang ini, dia manusia. Lebih tua.
Nasihat kakek
seperti pagar besi bagiku, roti itu kuberikan padanya.
“Tidak apa,
makanlah. Ini aman.”
Roti coklat penuh
tawa, candaan orang dewasa seperti bahasa marmut di rumah. Aku tak mengerti. Tetapi,
aku ikut tertawa bersama. Ikuti arus yang ada.
Hingga sore
tiba, aku sudah puas bermain dengan manusia-manusia baru. Kulitnya coklat,
baunya cengkih, dan kita berbeda. Kakek berlari dikerjar rintik-rintik hujan, kami
berlari pulang.
“Agga, Kakek
gendong ya !”
“Tidak, tidak
kakek.” Kutolak karena aku dan semua orang tau itu. Kakek sudah renta, tulang
tua rapuh.
Hujan terlalu
deras mendera, Kakek berhenti di sebuah rumah. Tidak sebesar rumahku, tidak
mewah, tetapi berpintu dan berjendela.
“Tok..tok…tok..”
Kakek mengetuk pintunya, berharap kami berteduh bersama the hangat. Pintu itu
tak kunjung terbuka. Kami meneduh di teras. Dalam hembusan angin dan air,
terdengar suara aneh.
“Hai..” anak
kecil sepertiku, melambai-lambai di udara. Senyumanya manis seperti foto Mama
yang selalu menemani lelapku, lalu aku labuhkan senyuman. “Hai.” Mata kecilnya
menari dalam dingin, kedipan mata sedetik sama. Kakek menyadari langit mulai
bahagia, langit kehabisan air mata, hujan mereda.
Andai
dia seorang teman
Lambain
tanganku bukan berarti perpisahan, namun kita pasti akan bertemu lagi, mungkin
bersama hujan atau matahari akan membakar kita hangat-hangat.
“Kakek,
apakah kakek punya teman ?”
“Tentu, Kakek
punya teman banyak. Bisnis Kakek tidak akan meraih sukses kalau tidak bantuan
teman-teman Kakek.”
“Mengapa Kakek
berteman?”
“Agga, pertanyaanmu
tidak seperti anak biasanya.” Kakek mengalihkan fokusnya pada jalan raya.
“Mengapa, Kek?”
Kuulangi lagi
“Agga, sayang. Teman
itu seperti keluarga ke-dua. Mereka hadir menghibur kesedihan, mensupport, dan
bahagia kita adalah bahagiannya.
Andai
Kakek tahu, aku ingin punya teman. Seumuran.
Semenjak
kepergian Nenek, pintu rumah selalu terkunci. Tiada tamu, tiada teman. Setiap
pagi dan malam tak henti-hentinya sembahyang pada Sang hyang tathagata. Sering
berdiam diri larut sihir meditasi.
Kesedihannya
begitu dalam, padahal banyak teman-temannya menunggu pintu terbuka. Mungkin itu
artinya teman, datang tak diundang dikala sedih meradang.
***
Agen Togel Terpercaya
ReplyDeleteBandar Togel Terpercaya
Berita Terkini
Live Draw Singapore
Highlights Bola