Cinta Tak Bermihrab

Bantuan tetangga semakin menipis, penghasilan Pak Purnomo yang setiap harinya bekerja sebagai buruh tani mencangkul ladang milik juragannya tidak cukup membiayai kebutuhan sehari-hari. Ibu Aminah belum bekerja lagi selepas melahirkan. Keadaan ini diperparah oleh kemarahan Kakek Kabsya kepada Pak Purnomo, sudah hampir setahun lebih masih menumpang di rumah orang tua.
Kerjo, Nak. Ojo numpang terus, uripmu wes anak-anak kudune nduwe omah dewe,”
Injih, Pak.”
Ora ngono, sampek kapan numpang terus. Mrantau seng adoh, nggolek duek seng akeh.” Pak Purnomo merasa malu dan terpukul perkataan Ayahnya, akhirnya ia memutuskan untuk tinggal berpisah dengan orang tuanya. Di sebuah ruangan kecil bekas dapur Kakek Kabsya, diberi sekat-sekat untuk tempat tidur dan ruang tamu. Tidak ada kasur empuk, hanya dipan beralaskan tikar sudah cukup disyukuri.
“Alhamdulillah, Pak. Kita sudah tinggal pisah dengan Bapak dan Ibu .”
“Iya Buk, kita harus rajin-rajin mengumpulkan uang supaya bisa membangun rumah sendiri.” Mereka berbincang-bincang sembari meletakkan kursi dari papan kayu, sederhana dan minimalis. Perabotan rumah tangga lainnya hampir tidak ada. Tungku peninggalan Kakek Kabsya dimanfaatkan setiap hari, kayu bakar tidak perlu beli karena Ayah angkat Pak Purnomo memberikan sepetak ladang pohon sengon, ranting-ranting yang berjatuhan tak ubahnya seperti rezeki turun dari langit.
Ada lima piring di atas meja, pemberian Ibu Pak Purnomo, sebuah panci multifungsi menanak nasi juga memasak air. Wajan, gayung dan sendok dibeli di toko. Berhari-hari tidak memiliki gelas, setiap kali ingin minum meminjam terlebih dahulu ke mertua. Gelas itu selalu diambil lagi oleh Ibu Pak Purnomo, hingga akhirnya Pak Purnomo dan Ibu Aminah memutuskan untuk ngokop saja.
Kabsya kecil tertidur lelap, ia belum mengerti apa yangsedang dialami kedua orang tuanya. “Oekk..oek..” tiba-tiba Kabsya menagis.
“Buk, Kabsya menangis. Kedinginan mungkin, selimuti lagi sama sarung Bapak.” Masih melanjutkan menata rumah baru.
“Iya, Pak.” Bu Aminah bergegas ke kamar, takut terjadi apa-apa pada putrinya.
Kabsya hanya ngompol, Ibunya tersenyum melihat putri kecilnya tersenyum manis saat popoknya diganti.
“Manis sekali, Kabsya kecil. Kehadiranmu adalah kebahagiaan kami.” Bu Aminah menemani Kabsya tidur, dan tertidur pula.
Pikiran Pak Purnomo terngiang tawaran bekerja Pak Bayan. Penghasilan buruh tani dirasa tidak cukup untuk membiayai kehidupannya. Seorang anak diturunkan  sebagai amanah, memberikannya kehidupan yang layak.
“Apakah harus merantau? Atau menerima pekerjaan sampingan Pak Bayan merawat sapi-sapinya?.” Difiki-fikir lagi, kasihan Kabsya harus pergi jauh. Bagaimana kalau jantungnya tidak mampu menahan angin perjalanan?, bagaimana jika putri kecil itu mabuk.perjalanan dan sakit?, bagaimana dan bagaimana?.
“Sudahlah, Pak. Kita jalani saja hidup di Malang ini, bersyukur berapa pun gaji Bapak. Sementara tinggal di sini juga nyaman, kita belajar mandiri dari orang tua.” Dengan tabahnya Ibu Aminah meluruskan pikiran Pak Purnomo kebingungan.

“Hmmmm…” Pak Purnomo tak berkata apa-apa, terdiam dan merenungi kalimat-kalimat istrinya.

Comments