Cinta Tak Bermihrab

                                                                Cirebon, 26 Desember 2001

Selamat tinggal Cirebon, Selamat tinggal Serang, tanah perantauan. Mereka kembali ke Malang, Dulu Kabsya selalu tidur sepanjang perjalanan, kini rasa ingin tahunya menggebu-gebu. “Ibu, itu apa?” “Itu sawah nak, kalau waktu panen warnanya kuning.” “Ibu, mereka ngapain?” “Pak Tani sawah sedang memenem padinya, ini sudah waktunya panen.” “Lalu, untuk apa padi?” “Padi itu calon nasi, setiap hari Ibu memasak nasi untuk Kabsya dari butir-butir padi milik Pak Tani,” “Wow, itu artinya kalau tidak ada Pak Tani kita tidak bisa makan, Bu?,” “Kabsya pintar..”
Tidak ada kursi yang tersisa, kereta api ekonomi melaju tanpa AC (Air Conditioner), mereka duduk bersandar di ruang kecil tempat keluar masuknya penumpang bersebelahan denga toilet. Setiap kali pintunya membuka, bau tak sedap semerbak menari-nari diujung hidung. Sigap sekali Ibu Aminah menutup hidung Kabsya setiap bau itu mendekat. Pak Purnomo berdiri siap siaga menjaga keluarganya, lalu-lalang penumpang adalah kekhawatiran. Percopetan atau tindak criminal lainnya.
“Heii, Pak. Hati-hati. Anak saya hampir Bapak injak !.” kepalan tangan Pak Purnomo hampir saja meluncur mendarat pada pipi kiri seorang laki-laki berbadan tegap kulit sawo matang,.
“Sudah.. Pak. Jangan.” Ibu Aminah menahan pukulan itu.
“Maaf, Maaf  Pak. Saya terburu-buru turun. Maaf Pak.” Laki-laki itu tergesa-gesa menuruni kereta, sepertinya dia sedang dikejar waktu.
“Sabar, Pak. Jangan dibawa emosi.” Istrinya menahan pukulannya, membiarkan laki-laki itu pergi.
“Apa dia tidak melihat ada anak kecil yang sedang tidur, Bu.!!!
Pak Purnomo duduk memangku Kabsya, mencium keningnya. Kening yang sempit, bukan lapangan golf, rambutnya yang lebat nyaris tak menyisahkan ruang di kening. Lalu, diberiknnya lagi kepada istrinya. “Tuutt..tuuttt..tuuu.” tanda kereta tiba di stasiun pemberhentian. Stasiun Kota Malang.
Malang, tempat kembali. Jikalau penumpang menyusuri jalan keluar, tentunya mencari-cari sanak saudara yang menjemput. Sayangnya, tidak. Pak Purnomo mencari, menawar ojek termurah untuk pulang. Akhirnya, dua ojek didapatkan dengan harga nego.
Tidak serta merta pulang merantau membawa uang berlimpah untuk berfoya-foya, mereka harus tetap hemat karena masih ada mimpi yang harus menjadi nyata. Rumah. Sudah banyak perubahan yang terjadi, bangunan-bangunan baru, lahan pertanian menjadi perumahan, dan udaranya mulai panas. “Oekk…oekkk,hiiihiiii,” si kecil terbangun saat Pak Ojek menghentikan motor di depan rumah kakek Kabsya.
“Terimakasih, Mas Jo”
“Iya, sama-sama, Pak No.” tukang ojek itu adalah teman Pak Purnomo sewaktu merantau ke Bali, pantas saja ongkos ojek bisa ditawar sampai harga termurah.
Setumpuk batu pondasi, pasir, gamping, dan bahan bangunan lainnya sudah datang dan siap digunakan membangun rumah. Ibu Aminah bergegas menuju rumah masa lalu, rumah dapur. Meskipun tertata rapi, debu-debu berterbangan dari sudut ke sudut mengikuti terpaan angin. “Pak!!, tolong Ibu membersihkan rumah,” “Iya, Bu.” Pak Purnomo terbangun dari lamunannya, mungkin melamun rumah impian yang indah dan bahan bangunan itu seolah mencerminkan betapa kerasnya mencari uang, walau hanya selembar uang ribuan.  
Sore hari menjelang malam, Nenek Kabsya merasakan keanehan, halaman kecil di depan rumah dapur tersapu bersih. Daun-daun kering yang berjatuhan dibakar menjadi abu. “Tok..tok..tok, Am, Ami, Aminah.” Memangil-manggil. Ibu Aminah dan Pak Purnomo sedang beristirahan karena seharian menempuh perjalanan panjang.
“Am, Pur, Pur.” Tidak ada yang menjawab, lalu Nenek Kabsya ketakutan dibuatnya. “jangan-jangan, tidak..tidak.” Nenek memanggil Kakek supaya pintunya dapat dibuka. Untung saja, sebelum pintunya hancur berkeping-keping, Pak Purnomo membuka pintu. “Ehh, kau sudah pulang, Pur?” “Iya, Mak.” Si Nenek memasuki rumah dapur, melihat sekeliling apakah ada barang atau makanan oleh-oleh. Sungguh tidak berperasaan, Nenek mengambil sekantung kue kering begitu saja, menghampiri Kabsya di dipan pembaringan. “Ini buat Emak, ya!!!.” “Iya, Mak. Tadi kami belum sempat mampir karena rumah Emak masih kosong dan gelap.” “Rupanya cucuku sudah tumbuh !!!”
Kesabaran Ibu Aminah tiada tandingannya, Ibu mertuanya tak pernah menyetujui pernikahannya, perbedaan status dan derajad dianggap penting olehnya. Terganjal restu, tapi takdir menyatu. Sejak Kabsya hadir di antara mereka, Nenek mulai membuka diri, mulai mengenal sosok Ibu Aminah. “Kalau dingin seperti ini, jangan memakaikan Kabsya rok pendek. Kasihan kedinginan.” “Iya, Bu.” Lirih Bu Aminah.
Pak Purnomo disibukkan sendiri dengan persiapan membangun rumah baru, pekarangan warisan orang tuanya tepat di depan rumah dapur sehingga kelak tidak terlalu jauh untuk pindahan. Kakek Kabsya sudah mewujudkan sebagian uang kiriman sewaktu merantau ke Cirebon dalam bentuk bahan bangunan, tinggal batako yang belum sempat dibeli.
“Daripada harus menghutang tetangga, Pur. Apa tidak lebih baik kamu membuat batako sendiri.” Kata Kakek.
“Sepertinya uang kami juga tidak cukup, jika harus dikurangi lagi untuk membeli batako.” Pak Pur merenung sejenak, berfikir cara terbaik.
***


Comments