Cinta Tak Bermihrab

Dedikasi : Buat Pembaca Setia

Keputusan terberat diambil, merantau. Malang tidak cukup memikat mereka, pekerjaan berpenghasilan tinggi tidak sebanding dengan kemampuan. Terlalu minim pengalaman dan pendidikan. Harapannya ranah rantau mengubah nasib karena menjanjikan pekerjaan apa pun. Juragan Bakso, kebetulan tetangga dekat mengajak merantau ke Kota Cirebon.
“Semoga, kita bisa sukses di Cirebon, Pak.”
“Aamiin, Buk. Percaya saja mimpi-mimpi kita untuk membangun rumah yang layak untuk Kabsya akan segera terwujud.” Mereka berkemas-kemas. Tawaran itu sudah bertahun-tahun lamanya, ketika Kabsya berusia dua tahun akhirnya merantau menjadi pilihan terbaik.  
Pagi-pagi buta berangkat, sebelumnya berpamitan ke tetangga-tetangga mohon doa restu agar lancar mengais rupiah di negri orang. Mak Jum berat hati melepas mereka pergi, seperti anak sendiri. Sementara kedua orang tua Pak Purnomo tidak peduli sama sekali. Sejak kecil sudah seperti itu, pak Purnomo selalu diasingkan. Meskipun ia adalah si sulung, namun tinggal bersama Ayah angkat. Entahlah tiada mengetahui alasannya apa.
Ati-ati, Mi. Ojo lali kirim surat, kabar-kabar ndek Malang. Mugo-migo paring sukses.
Matur suwon, Mak Jum. Kulo pamit riyen. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Selamat tinggal Malang, Kota pendidikan yang sejuk, teramat nyaman kerukunan, gotong-royong yang tak terlupakan. Kereta api membawa mereka melewati kota-kota besar, Jurangan Bakso berjanji memberikan pekerjaan, jualan bakso atau istilahnya menjadi anak buah.
“Tuutt..tuuutt..tuuut..” kereta api teriak-terik kegirangan.
‘Selamat Datang di Cirebon’. Perjuangan baru dimulai. Ini saatnya melangkah memulai dari nol. Kabsya kecil terbangun haus ingin minum susu. Rumah juragan bakso lumayan luas, sepuluh kali lebih luas dari rumah bekas dapur di Malang. Meskipun itu hanya rumah kontrak. Selama bertahun-tahun mendorong gerobak bakso, memasak bakso, hingga akhirnya membuka usaha bakso sendiri dan menjadi juragan bakso. Sedikit demi sedikit uang dikirim ke Malang untuk membeli bahan bangunan.
Hidup diperantaun tidak selamanya mengandung kebahagiaan, kerinduan kampung halaman tak terelakkan, Kabsya kecil semakin besar. Dia sudah bisa berjalan, memiliki hobi bermain di taman kanak-kanank sebeleh rumah kontrakan di sore atau malam hari karena pagi hari banyak anak-anak sekolah yang juga bermain di situ.
Lesung pipi kanan Kabsya menambah kadar manis putri kecil itu, rambut hitam dan tebal seperti malam tanpa kabut. Tubuhnya tidak terlalu besar, kecil dibandingkan teman-teman bersepeda lainnya. Namun, dia bahagia dengan teman-temannya, lebih bahagia ketika Pak Purnomo menghadiahkan sepeda anak-anak berwarna ungu dengan gambar bebek kuning menghiasi.
“Terimakasih, Pak.”

“Sana main sama teman-temanmu, sama Dimas dan lainnya.”

Comments